Suku Bima atau Dou Mbojo adalah suku yang mendiami Kabupaten Bima dan Kota Bima dan telah ada sejak
zaman Kerajaan Majapahit.
Suku ini menggunakan Bahasa Bimaatau Nggahi Mbojo.
Menurut sejarahnya-, suku Bima mempunyai 7 pemimpin di setiap daerah yang
disebut Ncuhi. Pada masa
pemberontakan di Majapahit, salah satu dariPandawa Lima, Bima, melarikan diri ke
Bima melalui jalur selatan agar tidak ketahuan oleh para pemberontak dan
langsung diangkat oleh para Ncuhi sebagai Raja Bima pertama. Namun Sang
Bima langsung mengangkat anaknya sebagai raja dan dia kembali lagi ke Jawa dan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima. Oleh karena
itu, sebagian bahasa Jawa Kuna kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Sejarah
Suku Bima
Bima
di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto
Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan masyarakat Bima pada jaman Naka masih
sangat sederhana. Masyarakat belum mengenal sistem ilmu pengetahuan dan
teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan atau perindustrian serta
perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari
dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada disekitarnya seperti umbia-umbian,
biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari dan mengumpulkan makanan untuk
kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar berburu. Dalam istilah ilmu
arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari hasil kekayaan alam disebut
masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah)
selalu berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman
Naka sudah mengenal agama atau kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada
masa itu disebut Makakamba dan Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut
kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Menurut kayakinan mereka pada masa itu,
alam beserta isinya diciptakan oleh Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan.
Marafu tersebut merupakan tempat semayam di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu
besar. Dan tempat untuk bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki
jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M,
masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para pedagang dan musafir yang berasal
dari daerah lain. Para pedagang dan musafir itu berasal dari Jawa, Sulawesi
Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah masyarakat Bima sudah mengenal
sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan, pertukangan dan
pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Sejak itulah keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa. Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat (Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
3. Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung terjadinya ke jaman kerajaan, menurut
dalam cerita legenda dalam kitab BO (catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang
Bima pertama kali berlabuh di pulau Satonda, kemudian bertemu dengan seekor
naga bersisik emas. Sang naga melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama
putri Tasi Sari Naga. Sang Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan
dua orang putra yang bernama Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima
tersebut kelak menjadi cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima
bertemu dengan putri Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa
setempat (Ncuhi) di pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata
dengan pulau Jawa. Sang Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat
dalam kitab Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
. 4. Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam.
Peristiwa-peristiwa dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan. Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa, karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa meninggalkan istana.
Setelah dalam kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1. Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540 M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil, karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan Trenggono.
2. Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580 M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan Bab’ullah mangkat.
3. Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14 Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta pengikutnya memeluk agama Islam.
Bahasa
Dalam kehidupan sehari-hari, Suku Bima
berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan bahasa Bima. Bahasa Bima
terdiri atas berbagai dialek, yaitu dialek Bima, Bima Donggo dan
Sangiang.Adanya ketiga dialek tersebut menunjukkan tingkatan atau tinggi
rendahnya bahasa Bima, yang kemudian digunakan sebagai acuan dalam
berkomunikasi, sebagai wujud nilai kesopanan. Bahasa yang mereka pakai ini
termasuk bahasa yang digunakan oleh kelompok Melayu Polynesia.
Sistem Religi
Kepercayaan asli
orang Bima disebut pare no bongi, yaitu kepercayaan terhadap roh nenek moyang.
Walaupun sebagian besar masyarakat Bima memeluk agama Islam, suku Bima masih
mempercayai dunia roh-roh yang menakutkan. Dunia roh yang ditakuti adalah
Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang sangat besar sebagai
penguasa, Batara Guru, Idadari sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh Jim yang
tinggal di pohon, gunung yang sangat besar dan berkuasa untuk mendatangkan
penyakit, bencana, dll. Mereka juga percaya adanya sebatang pohon besar di
Kalate yang dianggap sakti, Murmas tempat para dewa Gunung Rinjani; tempat
tinggal para Batara dan dewi-dewi. Sedangkan suku Bima bagian timur menganut
agama Kristen.
Mayoritas
penduduk Kota Bima memeluk agama Islam yaitu sekitar 97,38% dan selebihnya
memeluk agama Kristen Protestan 0,89%, Kristen Katholik 0,62% dan Hindu/Budha
sekitar 1,11%. Sarana peribadatan di Kota Bima terdiri dari Masjid sebanyak 51
unit, Langgar/Mushola 89 unit dan Pura/Vihara 3 unit. Sedangkan fasilitas
sosial yang ada di Kota Bima meliputi Panti Sosial Jompo dan Panti Asuhan
sebanyak 6 Panti yang tersebar di 3 kecamatan. Masyarakat Bima adalah
masyarakat yang religius. Secara historis Bima dulu merupakan salah satu pusat
perkembangan Islam di Nusantara yang di tandai oleh tegak kokohnya sebuah
kesultanan, yaitu kesultanan Bima. Islam tidak saja bersifat elitis, hanya
terdapat pada peraturan-peraturan formal-normatif serta pada segelintir orang saja
melainkan juga populis, menjadi urat nadi dan darah daging masyarakat, artinya
juga telah menjadi kultur masyarakat Bima.
Kesenian
a) Tari Bajang
Girang
Tarian ini perwujudan ekspresi perasaan anak muda
yang selalu bermaksud untuk melaksanakan perkawinan. Dalam Bahasa Indonesia,
kata bajang berarti muda dan girang berarti senang.
b) Tari Lenggo
Tari Lenggo adalah
salah satu jenis kesenian yang ada pada zaman dahulu diselenggarakan oleh para
Raja dan Ratu di Bima. Gerakan tarian ini yang demikian luwes merupakan
cerminan keluwesan dan tingkah laku yang baik dari para pemuda dan pemudi di
Bima. Tari Lenggo pada zaman dulu sering dipertunjukan pada upacara-upacara
menyambut tamu-tamu, upacara adat lainnya atau acara penting kerajaan.
c) Ntumbu
Ntumbu adalah atraksi
mengadu kepala antara dua pemain, merupakan salah satu pertunjukan di daerah
Bima. Pada pertunjukan ini kedua pemain diberikan kekebalan lebih dulu oleh
pemimpin pertunjukan yang disebut Guru' dengan berdo'a yang disebut Nochtah".
Untuk memungkinkan melangsungkan pertunjukan perlu adanya kepercayaan,
keyakinan yang dikonsentrasikan dalam hati bagi kedua pemain dan ini akan
diperoleh apabila kedua pemain telah di do'akan. Pemain membagi diri dalam dua
kelompok. Kelompok yang bertahan disebut "Te'e" dan yang menyerang
disebut "Ncora" Atraksi Ntumbu diiringi musik tradisional Bima,
mula-mula pemain yang memegang dan melambaikan saputangan memberi salam kepada
penonton kemudian pemanasan sebelum melakukan adu kepala.
Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian
utama Suku Bima adalah meramu. Selain itu, mereka juga bersawah
beternak kuda dan berburu. Suku Bima terkenal dengan kudanya yang kecil tetapi
kuat. Tahun 1920-an daerah Bima sudah menjadi tempat pengembangbiakan kuda yang
penting. Sistem pengairan Subak yang dikenal dalam masyarakat Bali dan Sasak
juga diterapkan, disebut ponggawa. Irigasi secara permanen ini dapat dilakukan
karena adanya sungai-sungai di pesisir utara dan sungai-sungai di pusat
pegunungan. Selain itu, para wanita juga membuat kerajinan anyaman dari rotan
dan daun lontar, juga kain tenunan 'tembe nggoli, yang terkenal.
Saat ini, mata
pencaharian utama masyarakat suku Bima adalah bertani dan sempat menjadi
segitiga emas pertanian bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan.
Oleh karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena pada zaman
Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan putra dan putri kerajaannya
masing.
Komposisi penduduk
Kota Bima berdasarkan mata pencaharian didominasi oleh petani/peternak dan
jasa/pedagang/pemerintahan yang besarnya masing-masing 45,84% dan 45,05%. Jenis
pekerjaan yang digeluti penduduk Kota Bima antara lain: petani 15.337 orang,
nelayan 425 orang, peternak 13.489 orang, penggalian 435 orang, industri kecil
1.952 orang, industri besar/sedang 76 orang, perdagangan 1.401 orang, ABRI 304
orang, guru 1.567 orang dan PNS berjumlah 2.443 orang.
( Sumber : Wikipedia
Indonesia )
Sistem Peralatan
Hidup
Masyarakat Bima telah
mengenal teknologi, sehingga peralatan yang dipergunakan beberapa sudah
modern. Peralatan dan perlengkapan hidup mencakup pakaian, perumahan,
alat-alat rumah tangga, senjata, alat produksi, dan transportasi.
Sistem Pendidikan
Secara umum, penduduk
Nusa Tenggara Barat sangat terikat dengan adat dan agamanya, Namun demikian,
merreka tidak menutup diri sama sekali dari pengaruh luar. Dahulu, sekolah
dianggap perusak adat. Saat ini anak-anak disekolahkan dari sekolah dasar
sampai perguruan tinggi. Mereka cenderung beranggapan segala yang berasal dari
luar itu baik, terutama yang menyangkut kebudayaan dan teknologi. Cara hidup
dan berfikir sudah mengikuti pola modern, hidup hemat, cermat dan ekonomis.
DAFTAR
PUSTAKA
Sosiologi, Mr. “Ini Dia 7 Unsur Kebudayaan Suku Bima”.
http://www.mistersosiologi.com/2015/03/7-unsur-kebudayaan-suku-bima-antropologi-sosiologi.html. Diakses
tanggal 12 November
2015.
Wikipedia. “Suku Bima”. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bima. Diakses tanggal 12 November 2015.
Anharz. “Sejarah dan Usul Daerah Dana MBOJO (Bima)”. https://anharz.wordpress.com/2014/07/08/sejarah-dan-usul-daerah-dana-mbojo-bima/. Diakses tanggal 12 November 2015.
Ambex. “Sejarah dan Usul Daerah Bima”. http://lomboksumbawambojo.blogspot.co.id/p/blog-page_93.html. Diakses tanggal 12 November 2015.
Anneahira. “Suku Bima”. http://www.anneahira.com/suku-bima.htm. Diakses tanggal 12 November 2015.
2015.
Wikipedia. “Suku Bima”. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bima. Diakses tanggal 12 November 2015.
Anharz. “Sejarah dan Usul Daerah Dana MBOJO (Bima)”. https://anharz.wordpress.com/2014/07/08/sejarah-dan-usul-daerah-dana-mbojo-bima/. Diakses tanggal 12 November 2015.
Ambex. “Sejarah dan Usul Daerah Bima”. http://lomboksumbawambojo.blogspot.co.id/p/blog-page_93.html. Diakses tanggal 12 November 2015.
Anneahira. “Suku Bima”. http://www.anneahira.com/suku-bima.htm. Diakses tanggal 12 November 2015.